Banten telah mendunia karena memiliki “harta karun”
berupa kekayaan alam yang bernilai tinggi ditinjau dari sudut
pelestarian alam. Taman Nasional Ujung Kulon telah lama dikenal sebagai
kawasan konservasi penting di dunia yang mendukung kehidupan Badak
bercula satu. Bahkan kawasan ini telah diakui sebagai Cagar Biosfir
Dunia. Disamping Taman Nasional Ujung Kulon, sebenarnya terdapat sebuah
“harta karun” lain yang juga telah mendunia, akan tetapi belum dikelola
dengan maksimal. Kawasan tersebut adalah Cagar Alam Pulau Dua.
Cagar Alam Pulau Dua terletak kira-kira 10 km dari kota Serang atau
kurang dari 5 km dari Pelabuhan Karang Hantu, yang oleh para pedagang
Belanda dan Portugis tempo dulu disebut sebagai “The Gateway to Java“.
Pelabuhan ini merupakan jalan masuk penjajah Belanda dan Portugis untuk
menancapkan kukunya di Pulau Jawa pada 400 tahunan yang lalu.
Meskipun namanya Pulau Dua, pada kondisi sekarang kawas
an ini
sebenarnya bukan merupakan pulau lagi. Karena terjadinya pelumpuran di
sebelah selatan, pulau yang dipisahkan oleh selat sepanjang 500 meter
ini kemudian tersambung dengan Pulau Jawa, sehingga namanya yang benar
adalah bukan Pulau Dua lagi, tapi Pulau Jawa ……….. tapi apalah artinya
sebuah nama.
Jika dirunut kebelakang, sejarah Pulau Dua dimulai pada dekade awal
abad ini. Pada masa itu, penduduk setempat telah mengetahui Pulau Dua
(yang masih benar-benar pulau) sebagai lokasi dimana banyak burung yang
bertelur dan membesarkan anak-anaknya. Rupanya, cerita “ribut-ribut”
antara pembuat keputusan dan masyarakat mengenai penggunaan sumber daya
alam juga sudah ada pada jaman itu. Meskipun sudah ada peraturan yang
mengatur masalah perlindungan alam (Natuurmonumenten Ordonantie),
masyarakat setempat masih ingin turut menikmati telur-telur burung air
sebagai tambahan protein. Untuk mengatasi terus berlangsungnya
pengambilan telur, pada tahun 1936 suatu organisasi perkumpulan pencinta
alam Hindia Belanda mengusulkan Pulau Dua sebagai kawasan perlindungan
burung liar. Karena adanya usulan, desakan dan lobi yang intensif, pada
tahun 1937 Pemerintah Pusat di Batavia kemudian menetapkan Pulau Dua
sebagai kawasan. Hal ini berarti tidak memperbolehkan adanya kegiatan
manusia di dalam kawasan , kecuali untuk kegiatan penelitian. Empat
puluh tahun kemudian (1977), Pemda Kabupaten Serang menegaskan kembali
status Pulau Dua sebagai Kawasan Pelestarian Alam.
Seperti diceritakan dimuka, pelumpuran di selat yang memisahkan Pulau
Dua dan Pulau Jawa kemudian menghasilkan tanah timbul yang sebagian
diantaranya kemudian ditumbuhi oleh komunitas mangrove baru, yaitu Avicennia marina, bersambung dengan komunitas mangrove lama yang didominasi oleh Rhizopora apiculata.
Sementara itu, sebagian tanah timbul lainnya dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai tambak. Karena telah bersatu, usaha-usaha untuk
meningkatkan perlindungan burung air di dalamnya dirasa sangat
diperlukan, dan, syukurnya, kemudian ditanggapi dengan dikeluarkannya SK
Menteri Kehutanan tahun 1984 yang menyatakan penambahan luas areal
Cagar Alam dari 8 hektar menjadi 30 hektar, termasuk komunitas Avicennia marina yang baru.
Surga perkawinan burung air
Sejak awal, Pulau Dua memiliki nilai lebih karena menjadi lokasi
berbiaknya berbagai jenis burung air. Salah seorang pemuka pelestarian
burung pada jaman Hindia Belanda, Hoogerwerf, menyatakan bahwa pada awal
penunjukannya sebagai Cagar Alam, kawasan ini menjadi rumah bagi
setidaknya 71 jenis burung, termasuk 14 jenis yang berbiak, diantaranya Mycteria cinerea
yang konon hanya tersisa 6000-an ekor di seluruh dunia (95% ada di
Indonesia). Ditambah dengan berbagai catatan lain sesudahnya, sampai
tahun 1998 ini jumlah burung yang tercatat adalah sekitar 110 jenis,
dimana lebih dari setengahnya terdiri dari burung air.
Pada saat-saat tertentu, biasanya antara Desember sampai Juli, Pulau
Dua berubah menjadi tempat upacara perkawinan massal. Dimulai pada bulan
Desember, para calon pengantin sibuk mempercantik diri, mencari
pasangan hidup dan melangsungkan perkawinan. Beberapa jenis diantaranya
berdandan dengan merubah penampilan warna bulu dan anggota tubuh
lainnya. Kuntul besar Casmerodius albus, misalnya, merubah
warna paruh yang tadinya kuning menjadi hitam ditambah dengan dengan
rumbai-rumbai bulu di bagian dada dan ujung ekor. Kuntul (temannya)
Kerbau Bubulcus ibis lebih memilih untuk merubah warna bulu kepala,
leher dan dadanya; dari putih menjadi warna yang lebih ngejreng, yaitu
oranye. Sementara itu, Kuntul kecil Egretta garzetta lebih memilih paket yang lebih hemat, yaitu dengan menambahkan dua buah kuncir panjang di belakang kepala.
Pada sekitar bulan Januari, setelah ikatan perkawinan terjadi, kedua
pengantin sibuk mencari bahan-bahan sarang di luar maupun di dalam pulau
dan membangunnya, terutama, di pohon mangrove. Setelah selesai, si Ibu
mulai bertelur dan mengerami telurnya yang jumlahnya 2 – 5 butir.
Setelah telurnya menetas, kedua orang tua bergiliran mencari makan di
daerah tambak dan sawah. Pada saat sibuk, Pulau Dua dihuni oleh ribuan
pasang burung air. Perhitungan tahun 1996 menunjukan jumlah sekitar
20.000 pasang.
Pada saat perkawinan, sebagian besar jenis burung air disini sangat
setia pada pasangannya. Mereka umumnya bersifat monogami, meskipun ada
beberapa individu yang suka melirik individu di sarang lain. Walaupun
demikian, setelah masa berbiak selesai dan anak-anak sudah bisa mandiri,
ikatan perkawinanpun bubar. Mereka mulai keluar dari pulau dan mencari
kehidupan sendiri-sendiri, tinggal di tempat lain untuk mencari
penghidupan yang lebih baik. Pada saat musim kawin berikutnya datang,
ketika kebutuhan biologis memanggil, mereka mulai berdatangan kembali ke
tempat kelahiran di Pulau Dua, rujuk dengan pasangan lama atau mencari
pasangan yang lain. Demikian seterusnya.
Adanya siklus perkawinan dari beberapa jenis burung air dalam lokasi
yang berdekatan, menjadikan Pulau Dua sebagai tempat yang sangat baik
untuk melakukan berbagai penelitian mengenai biologi perkembangbiakan
burung air. James Hancock, seorang peneliti burung air dan penulis buku
“The Herons of the World” dalam catatannya mengatakan, ” …… In
so small a space, the distance between individual nests is very slight,
and the opportunity to watch the interplay between individuals of
several species is unrivalled anywhere. ……………. this remarkably heronry
was my study area for the herons of SE Asia, not only for observing
behaviour, ….., but also because the various subspecies of white egrets
here created a considerable challenge in identification”.
Untuk
menggali informasi mengenai kehidupan burung air, berbagai penelitian
telah dilakukan oleh beberapa mahasiswa dari berbagai Universitas.
Meskipun pengikisan pantai masih berlangsung di bagian utara pulau,
akan tetapi kondisi alami pulau serta perairan di sekitarnya masih cukup
baik dan dapat memberikan daya dukung yang memadai untuk burung-burung
air yang berbiak. Bersambungnya pulau ke daratan Jawa serta sifat burung
air yang hanya berbiak di pulau dan mencari makan di Pantai Utara Jawa,
menjadikan kehidupan mereka sangat rentan. Kelangsungan hidup mereka
justru sangat bergantung kepada berbagai kegiatan antropogenik, baik di
lokasi berbiak maupun di lokasi mencari makan.
Bersatunya pulau menjadikan akses yang lebih mudah, sehingga
kunjungan wisata serta pengambilan kayu bakar membuat pihak pengelola
sibuk mencari jalan keluar agar kegiatan tersebut tidak berlangsung
terus dan tidak mengganggu koloni. Salah satu akibat gangguan manusia di
lokasi berbiak adalah berhenti berbiaknya beberapa jenis burung. Burung
Wilwo terakhir tercatat berbiak pada tahun 1975 dan kemudian hengkang
ke tempat lain, diantaranya di Pulau Seribu, yang tercatat sebagai
satu-satunya tempat berbiak mereka di Pulau Jawa.
Dalam skala yang lebih besar, perubahan peruntukan habitat mereka
mencari makan menjadi lokasi industri, perumahan dan lainnya tidaklah
mungkin diatasi oleh burung. Paling-paling yang bisa mereka lakukan
adalah mencari makan di tempat yang lebih jauh, yang berarti mengurangi
jumlah rit mereka pulang-pergi mencari makan, dan berarti makin sedikit
pula jumlah makanan yang bisa dibawa pulang untuk si kecil yang menanti
dengan lapar di sarang.